Semuasenin.com – Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK) mengklaim 80 persen partai politik di Indonesia tidak leluasa dalam menentukan capres dan cawapres di Pilpres 2024. Hal itu dipicu karena para pengurus partai politik dikendalikan pemerintah.
“Ya semua partailah, 80 persen tidak mandiri dalam menentukan,” kata JK usai menghadiri Seminar Pemuda untuk Politik di Gedung DPR RI pada Senin (31/7/2023).
Dia mengklaim, intervensi kepada partai politik membahayakan iklim demokrasi di Indonesia. Sebab itu, dia berharap pemerintah tidak ikut campur dengan urusan rumah tangga partai, terutama soal pilihan capres.
“Ini sistem demokratis kan berbahaya kalau begini terus. Jadi partai tidak mandiri. Apabila partai diganggu lagi nanti semakin kacau negeri ini,” ujarnya.
Kegelisahan JK bermula dari kondisi Golkar yang saat ini masih bimbang dengan pilihan capres, apakah bakal tetap mempertahankan Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto sesuai dengan hasil Munas 2019 atau memilih calon lain. Dia mengklaim kebingungan itu muncul lantaran Golkar terlalu bergantung kepada penguasa dalam setiap pembuatan keputusan.
“Mau apalagi, evaluasi apalagi, karena Golkarnya sendiri sangat telat, atau sangat tergantung kepada para penguasa kepada koalisi-koalisinya dan Golkar tidak berani untuk berdiri sendiri dalam menentukan,” jelasnya.
Sementara itu, JK pun menolak rencana agenda Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar yang didengungkan oleh segelintir kelompok. Dia menilai kader partai mesti bersatu baik di tataran elite maupun akar rumput.
“Sangat tidak setuju, karena akan menurunkan muruahnya Golkar,” bebernya. Sebab itu, dia mendorong pihak-pihak yang berbicara di depan publik untuk memprioritaskan persatuan Partai Golkar.
“Kalau saya, siapapun yang bicara tentang Golkar, maka bersatulah,” ujarnya.
Sebab itu, dia mendorong pihak-pihak yang berbicara di depan publik untuk memprioritaskan persatuan Partai Golkar. “Kalau saya, siapapun yang bicara tentang Golkar, maka bersatulah,” ujarnya.
JK menilai isu Munaslub saat ini tergolong mengkhawatirkan. Karena pelaksanaan pemilu tersisa tujuh bulan, dan terlalu sempit untuk menyiapkan pesta demokrasi apabila harus dilalui dengan Munaslub.
“Dalam situasi yang krisis ini, artinya waktu yang lebih singkat. Karena, bagaimana bisa menang kalau pecah begitu kan. Kita harus bersatu dulu. Bersatu saja belum tentu menang, apalagi kalau tidak bersatu,” jelasnya. (*)