Danny Pomanto semakin menegaskan identitasnya sebagai sosok yang dekat dengan rakyat melalui berbagai simbol dan langkah yang ia pilih dalam kampanyenya. Sebagai seorang “anak lorong” yang tumbuh dari lingkungan masyarakat biasa, Danny berusaha mencerminkan kehidupan dan aspirasi rakyat yang seringkali kurang terwakili dalam politik.
Salah satu simbol yang mencolok adalah ketika Danny menggunakan becak, alat transportasi tradisional yang lekat dengan kehidupan rakyat kecil. Ini bukan hanya sekadar alat transportasi, tetapi juga simbol kedekatan Danny dengan masyarakat bawah dan keinginannya untuk selalu berada di tengah-tengah rakyat. Warna oranye yang ia kenakan dalam kampanye juga memiliki makna yang mendalam, yaitu keberanian, semangat juang, dan tekad untuk menghadapi setiap tantangan.
Deklarasi pasangan Danny Pomanto-Azhar Arsyad menggambarkan upaya untuk menyatukan energi rakyat dan membawa nuansa baru dalam politik Sulsel. Dalam perspektif sosiologi politik, langkah ini dapat dilihat sebagai usaha untuk membangun solidaritas dan kepercayaan di antara masyarakat, yang merupakan elemen penting dalam teori mobilisasi politik. Dengan menciptakan identitas bersama dan menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari rakyat, Danny dan Azhar berupaya membangun dukungan yang berbasis pada kepercayaan dan kebersamaan, bukan hanya transaksi politik.
Pendekatan Danny juga bisa dikaitkan dengan teori Pierre Bourdieu tentang *habitus* dan *arena* sosial. Habitus Danny, yang terbentuk dari pengalamannya sebagai anak lorong, memengaruhi cara ia berperilaku dan berpolitik. Arena politik, menurut Bourdieu, adalah medan persaingan di mana berbagai aktor dengan kekuatan dan modal yang berbeda berusaha memperebutkan posisi dan kekuasaan. Dalam arena ini, Danny sering kali berhadapan dengan lawan-lawan yang memiliki modal ekonomi dan politik yang lebih besar. Namun, ketangguhannya dalam menghadapi para pesaing yang didukung oleh kekuatan besar ini menunjukkan kemampuan adaptasi dan keberaniannya untuk tetap berdiri tegak meskipun di bawah tekanan.
Selain itu, pendekatan Danny juga mencerminkan elemen dalam teori konflik kelas dari Karl Marx, di mana terdapat pertarungan antara kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat. Dalam konteks ini, Danny menempatkan dirinya sebagai representasi dari “kelas rakyat” yang berhadapan dengan “kelas elit” yang didukung oleh kekuatan modal besar. Ini adalah gambaran dari perjuangan untuk memperoleh legitimasi dan dukungan dari rakyat melalui upaya menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari mereka dan siap berjuang untuk kepentingan bersama.
Dengan pendekatan yang lebih berfokus pada rakyat dan upaya untuk membangun dukungan melalui solidaritas dan kepercayaan, Danny Pomanto menawarkan alternatif di tengah politik yang sering kali didominasi oleh kekuatan besar. Deklarasi dan kampanyenya tidak hanya sekadar ajang politik, tetapi juga upaya membangun kembali hubungan antara masyarakat dan pemimpinnya berdasarkan prinsip-prinsip inklusivitas, partisipasi, dan keadilan sosial. (*)