Pernahkah kita duduk sejenak, memejamkan mata, dan bertanya pada nurani kita sendiri:
Apakah benar kita telah mengamalkan Pancasila bukan hanya di lisan, tetapi di hati dan tindakan nyata?
Sudahkah nilai Ketuhanan menjadi ruh dalam setiap langkah hidup kita sebagai individu dan sebagai bangsa?
Adakah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab telah meresap dalam tutur, sikap, dan kebijakan kita sehari-hari, terhadap sesama, terhadap yang lemah, terhadap yang berbeda?
Masihkah Persatuan Indonesia menjadi cita dan cinta bersama, atau telah kita koyak dengan prasangka, kepentingan sempit, dan ego sektoral?
Sudahkah Musyawarah dan Keadilan Sosial benar-benar menjadi cahaya dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan keadilan bagi seluruh rakyat?
Dan di bulan yang suci ini, saat takbir Idul Adha bergema dan daging qurban dibagikan ke penjuru negeri, mari kita bertanya kembali:
Sudahkah kita berqurban, atau hanya menyaksikan qurban?,
Sudahkah kita memberi tanpa berharap kembali, atau masih terikat oleh hitungan duniawi?
Sudahkah kita melepaskan sesuatu yang kita cintai demi kebaikan bersama, sebagaimana Nabi Ibrahim rela mengorbankan Ismail, buah hatinya?
Atau justru kita masih menggenggam erat ego, keserakahan, dan ketakutan kita sendiri?
Bulan Dzulhijjah 1446 H ini terasa istimewa. Ia menyatukan dua momen agung:
Hari Lahir Pancasila yang kita peringati setiap 1 Juni, dan bulan Idul Adha yang memanggil hati untuk bersujud, untuk memberi, dan untuk melepas.
Dua momen ini seakan menyatu menjadi satu jendela batin, tempat kita bisa mengintrospeksi:
Apakah nilai-nilai Pancasila telah kita qurbankan di altar kepentingan pribadi?
Ataukah kita telah menjadikannya panduan hidup, sebagaimana Ibrahim menjadikan perintah Tuhan sebagai landasan utama segala keputusan?
Inilah saatnya kita tidak hanya memperingati, tapi menghidupi.
Tidak hanya mengenang Pancasila, tapi mengamalkannya.
Tidak hanya menyembelih hewan, tapi juga menyembelih keangkuhan, kedengkian, dan keserakahan yang membuat bangsa ini terbelah.
Wahai jiwa-jiwa yang rindu akan kemuliaan,
Mari kita hayati kembali Pancasila bukan sebagai jargon politik, tetapi sebagai ruh kebangsaan.
Mari kita rayakan Idul Adha bukan sekadar sebagai tradisi tahunan, tapi sebagai madrasah jiwa, tempat kita belajar memberi, melepaskan, dan tunduk dalam cinta kepada Allah dan sesama manusia.
Sebab hanya bangsa yang rela berkorban dan hidup dalam nilai, yang akan menjadi bangsa besar.
Dan hanya jiwa yang menyatukan semangat langit dan cinta tanah air, yang akan mengantar Indonesia menuju kemuliaan yang sejati.
Saatnya kita berqurban, demi Tuhan dan demi Indonesia.
Saatnya kita berpancasila, dengan jiwa yang sujud dan hati yang bersih.
Qurban: Menyembelih Ego, Menyalakan Cahaya Ilahi
Qurban berasal dari kata قَرُبَ – يَقْرُبُ – قُرْبَانًا yang berarti “mendekat.” Ia bukan sekadar penyembelihan fisik, tetapi upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan melepas apa yang paling kita cintai. Inilah makna sejati dari ayat:
لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ
“Daging dan darah hewan qurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian.”
(QS. Al-Hajj: 37)
Dalam pengorbanan Ibrahim dan Ismail, kita melihat refleksi ketundukan, dialog cinta, dan keteguhan jiwa yang luar biasa:
قَالَ إِنِّي أَرَىٰ فِي ٱلْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ
“(Ibrahim berkata), ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.’”
(QS. As-Saffat: 102)
Qurban bukan tentang darah, tetapi tentang jiwa. Ia adalah latihan spiritual untuk membunuh “Ismail-Ismail” dalam diri kita: keserakahan, kesombongan, dan kemelekatan dunia. Sebab hanya ketika kita mampu menyembelih ego, kita akan menemukan kemurnian iman.
Pancasila dalam Cermin Qurban: Nilai-Nilai yang Menghidupkan Bangsa
Pancasila bukan hanya fondasi negara, tapi juga pancaran nilai ilahiyah yang sejalan dengan semangat qurban. Ia menjadi jembatan antara langit dan bumi, antara Tuhan dan manusia.
- Ketuhanan Yang Maha Esa
Spirit qurban adalah ekspresi tertinggi dari tauhid. Ia mengajarkan bahwa segala bentuk pengorbanan, sekecil apa pun, harus dimulai dari niat lillahi ta’ala.
Qurban melatih umat untuk berserah, pasrah, dan percaya penuh pada kehendak-Nya.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.”
(QS. Al-Kautsar: 2)
Ketuhanan dalam Pancasila bukan sekadar pengakuan formal terhadap Tuhan, tetapi pengakuan eksistensial yang menuntut ketaatan dan keteladanan.
Spirit qurban menyadarkan bangsa ini bahwa pembangunan tanpa spiritualitas akan melahirkan krisis nurani.
- Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Qurban memanusiakan manusia. Ia menghidupkan empati sosial. Ia mengajarkan bahwa keberlimpahan harus dibagi, bukan ditimbun.
Dalam daging qurban yang dibagikan, mengalir kasih sayang dan rasa keadilan yang nyata. Nabi Muhammad SAW. bersabda:
مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ وَجَارُهُ جَائِعٌ وَهُوَ يَعْلَمُ
“Tidak beriman kepadaku orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan, dan ia mengetahuinya.”
(HR. Thabrani)
Pancasila menuntut kita untuk tidak hanya beradab dalam ucapan, tapi juga dalam tindakan sosial.
Spirit qurban menumbuhkan adab melalui pengorbanan dan kesediaan berbagi.
- Persatuan Indonesia
Idul Adha menyatukan umat dari berbagai latar belakang dalam satu suara takbir. Inilah miniatur kebhinekaan dalam kesatuan.
Pancasila pun demikian: ia adalah perekat keberagaman bangsa yang luas.
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.”
(QS. Al-Hujurat: 10)
Ketika kita memahami qurban sebagai jalan persatuan, maka tak ada ruang untuk fanatisme, sektarianisme, atau politik pecah belah.
Qurban mengajarkan kita untuk melihat saudara sebangsa sebagai bagian dari diri sendiri.
- Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
Qurban adalah hasil musyawarah spiritual antara Ibrahim dan Ismail. Bukan paksaan, tapi dialog.
Di sinilah teladan kepemimpinan berbasis hikmah dimulai: mendengar, memahami, dan mengambil keputusan yang bijaksana. Imam Al-Ghazali berkata:
العدل أساس الملك، والحكمة تاج الملوك
“Keadilan adalah dasar kekuasaan, dan hikmah adalah mahkota para pemimpin.”
Pemimpin dalam semangat qurban adalah mereka yang berani mengorbankan kenyamanannya demi rakyat. Bukan yang memanfaatkan rakyat demi kenyamanannya.
- Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Qurban tidak mengenal kasta. Daging qurban harus dibagikan kepada yang membutuhkan. Inilah wujud nyata dari keadilan sosial. Bukan sekadar retorika, tapi implementasi.
وَآتِ ذَا ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ
“Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan.”
(QS. Al-Isra: 26)
Pancasila menuntut keadilan yang menyentuh pinggiran, bukan yang hanya berpihak pada yang kuat. Dan qurban adalah latihan keadilan itu.
Menjadi Bangsa yang Berqurban: Dari Seremonial ke Substansial
Sayangnya, qurban sering kali terjebak dalam rutinitas tanpa ruh. Daging dibagi, tapi keserakahan tetap bercokol.
Takbir berkumandang, namun hati tetap keras. Begitu pula Pancasila, sering dielu-elukan di podium, tapi nilainya kerap ditinggalkan dalam praktik.
Spirit qurban dan nilai Pancasila harus menyatu dalam kehidupan berbangsa. Kita perlu membangun “bangsa yang berqurban”: bangsa yang rela melepas ego sektoral, kepentingan sempit, dan fanatisme semu demi cita-cita bersama.
Indonesia dalam Naungan Ibrahim
Dalam setiap takbir Idul Adha, mari kita bayangkan Indonesia sedang berdiri di Mina,tempat Ibrahim diuji.
Apakah kita siap mengorbankan yang paling kita cintai demi bangsa dan agama? Apakah kita siap melepaskan Ismail-Ismail dalam diri: jabatan, kekuasaan, ketamakan,demi kemaslahatan yang lebih besar?
Jika iya, maka bangsa ini bukan hanya besar dalam jumlah, tetapi agung dalam akhlak.
إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوا۟ وَٱلَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. An-Nahl: 128)
Mari kita jadikan Pancasila dan qurban sebagai dua sayap untuk terbangkan bangsa ini ke langit ketinggian spiritual dan kemanusiaan.
Sebab bangsa yang tidak belajar dari Ibrahim, adalah bangsa yang akan kehilangan arah dalam membangun masa depan.
Penutup dan Kesimpulan
Mari kita sujudkan jiwa kita di hadapan Tuhan, dan cintai tanah air ini dengan pengorbanan nyata.
Satukan semangat langit dan cinta tanah air dalam satu napas perjuangan yang ikhlas.
Idul Adha dan Pancasila bukanlah sekadar momentum, tapi panggilan agung untuk menjadi manusia seutuhnya, yang bertuhan, beradab, bersatu, bijaksana, dan adil.
Karena hanya bangsa yang siap berqurbanlah, yang pantas menerima kemuliaan dari Tuhan.
Saatnya Indonesia berpancasila dengan jiwa yang berqurban.# Wallahu A’lqm Bishawab🙏MK
SEMOGA BERMANFAAT