Kemiskinan Terselubung

Ridwan Andi Usman
Ridwan Andi Usman

Istilah ini dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana tampakan luarnya seolah – olah penuh kemegahan, tetapi sesungguhnya di dalamnya bersimbah kekurangan atau berlumur kemiskinan. Hal ini bisa menerpa individu, komunitas, maupun negara. Ekonom James Duesenberry menyebutnya sebagai Demonstration Effect. Bahwa, individu maupun masyarakat mengkonsumsi barang mewah hanya karena terpengaruh atau meniru konsumsi masyarakat yang tingkat penghasilannya tinggi atau kaya.

Keterpengaruhan masyarakat untuk mengkonsumsi barang – barang mewah bukan karena pendapatannya yang tinggi sehingga memungkinkan membeli barang – barang tersebut, tetapi hanya soal gensi atau prestise semata. Banyak sekali ditemui orang – orang yang berpenampilan melampauhi kemanpuan produksinya. Seperti pepatah, pendapatannya naik satu centi meter, gayanya naik satu meter.

Bagaimana halnya jika negara terserang penyakit tersebut. Berparas negara yang tingkat pendapatan perkapitanya tinggi, tetapi sebagian besar rakyatnya hidup dalam garis kemiskinan. Berupaya naik kelas sebagai negara yang berpendapatan menengah ke atas (Upper middle income country), tetapi menggunakan angka – angka dan parameter layaknya negara yang berpendapatan rendah, agar rakyatnya senang dan memuji pemimpinnya. Rakyat disuguhi angka – angka penurunan kemiskinan semu.

Pada Tahun 2019, di tengah suasana kecemasan karena pandemi, tiba – tiba tertiup angin segar dan menyejukkan. Bagaimana tidak, BANK DUNIA menyematkan predikat kinerja prekonomian 2019 naik kelas, dari negara bependapatan menengah bawah menjadi negara berpendapatan menengah atas (Upper middle income country). Suatu prestasi luar biasa dan menjadi impian semua negara yg sedang membangun. Meskipun predikat ini sempat menurun pada 2020 dan 2021.

Predikat tersebut, jika dilihat dari ketersediaan sumberdaya alam adalah hal yang memang sewajarnya. Justru negeri ini harusnya memacu diri untuk bisa menjadi negara yang berpendapatan tinggi seperti negara – negara maju lainnya. Keterlambatan negeri kita naik kelas seperti negara – negara maju yang tingkat kesejahteraan rakyatnya tinggi, salah satu sebabnya karena kelas masyarakatnya yang timpang. Negara – negara maju umumnya dicirikan dengan persentase dan tingkat kemapanan kelas menengahnya yang tinggi.

Baca Juga:  Makan Siang Gratis, Betul atau Ngibul?

Kenaikan kelas sebagai negara berpendapatan menengah atas, disambut dengan gegap gempita oleh seluruh rakyat Indonesia. Kenaikan ini seolah menunjukkan kenaikan pendapatan perkapita seluruh rakyat Indonesia. Rakyat kian gembira dan memberikan kekaguman berlebih kepada kepemimpinan Jokowi, karena selain negara naik kelas, data tingkat kemiskinan makin menyusut. Berdasarkan data kemiskinan memang sangat menggembirakan, perseptember 2024 tingkat kemiskinan berada pada 8, 57 persen atau 24, 06 juta jiwa.

Angka – angka ini yang dikapitalisasi pemerintah sebagai keberhasilannya menurunkan angka kemiskinan, bahkan dengan sesumbar bahwa programnya dapat mencapai garis kemiskinan ekstream nol (Zero poverty). Angka pencapaian ini tidak hanya menghipnotis rakyat kecil, tetapi juga para elit politik. Partai – partai politik kehilangan daya kritisnya, Ia menjadi bagian dari paduan suara dari apa pun yang diorkestrasi oleh penguasa.

Akibatnya, Pembangunan dibidang hukum, politik, dan sosial terdegradasi. KPK terbonsai kewenangannya, hukum diakali sesuai selera penguasa, regresi demokrasi, dan kebebasan sipil makin tersumbat. Para ilmuan dan intelektual berusaha mencegahnya, tetapi ibarat, “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”. Penguasa terlanjur mendapat simpati dari rakyat yang pendiriannya sulit tergeser dengan pendekatan rasionalitas. Pemerintah meyakini, bahwa apa pun yang dilakukannya mendapat dukungan dari rakyat. Hal itu, dibuktikan oleh survey.

Entah data ini sengaja dimanipulasi, atau angka pengukuran yang sesungguhnya sudah tidak kompatible tetapi tetap digunakan agar rakyat senang mendengarnya. Penurunan angka kemiskinan adalah simbol keberhasilan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana Gordon de Broewer mengkhutbakannya, bahwa tugas utama pemerintah adalah; Pertama, mensejahterakan rakyatnya (Prosperity). Kedua, membuat rakyatnya merasa aman sentosa.

Jika angka – angka yang dirilis sesuai dengan fakta dan bersambung dengan suasana kebatinan rakyat dalam menerawang makna kesetaraan dan keadilan, maka disitulah kepantasan pujian rakyat terhadap pemimpinnya. Jika sebaliknya, angka penurunan kemiskinan tidak sesuai kenyataan, maka akan muncul persoalan struktural dikemudian hari yang makin menyensarakan rakyat. Kekeliruan data berakibat pada kesalahan kebijakan berkelanjutan dan penanganan lapangan usaha ekonomi.

Baca Juga:  Pancasila dalam Pelukan Laku Luhur Pesantren

Menilik angka – angka kontra produktif, ketika angka kemiskinan diklaim menurun sampai pada angka 8, 57 % , justru variabel – variabel pendukungnya mengalami pelemahan. Kelas menengah yang makin menurun dari 21,45% pada 2019 menurun menjadi 17,13% pada 2024. Kontribusi sektor industri terhadap PDB yang makin menurun (deindustrialisasi 2014 – 2024). Untang negara yang makin membengkak dan belanja negara yang imbal hasilnya kecil. Investasi yang terhambat dari tingginya nilai ICOR.

Angka – angka kontra produktif dan kerisauhan sebagian kaum kritis terjawab, setelah Bank Dunia dalam laporan “Makro Poverty Outlook” merilis bahwa lebih dari 60,3 % rakyat Indonesi hidup di bawah garis kemiskinan. Bandingkan antara 8,57% atau 24, 06 juta jiwa dan 60,3 % atau 171,8 juta jiwa, Jaraknya sangat berselisih. Bahkan jika dimasukkan angka kelompok masyarakat yang baru menuju kelas menengah yang rentan miskin nenurut statistika BPS, maka didapati angka 82 % rakyat Indonesia dalam garis kemiskinan. Siapa yang salah, dua – duanya benar hanya saja ada yang pura – pura lupa, dan ada yang rasional dan jujur apa adanya.

Mungkin sebagian rakyat Indonesia mulai melek bahwa ketimpangan sosial dinegeri ini sudah sangat mengkwatirkan sebagaimana angka indeks gini 0, 399. dan juga baru percaya bahwa 10 % elit menguasai 80 % kekayaan negeri ini.

Bahwa pendapatan perkapita negeri ini naik sehingga menjadi negara berpendapatan menengah atas (Upper Middle Income Country) adalah benar. Hanya saja, tingkat pendapatan sebuah negara diukur berdasarkan GNP (Gross National Product) atau GNI (Gross National Income) per kapita. Tetapi, harus diketahui, bahwa kekayaan keseluruhan yang dimiliki atau diproduksi oleh sebuah negara, tidak berarti bahwa kekayaan itu merata dimiliki oleh semua penduduknya, boleh jadi hanya sekelompok kecil orang yang berkontribusi besar karena besarnya kekayaan yang dimilikinya.

Baca Juga:  Kebangkitan (Semu) Nasionalisme

Metode pengukuran ini sudah jamak diketahui bahwa terdapat kelemahan di dalamnya, karena itu ada pengukuran – pengukuran lain yang menyertainya mesti menjadi perhatian. Inilah kecerobohan atau boleh jadi memang ketidak jujuran pemerintah menggunakan angka – angka pengukuran karena berharap pujian dari Rakyat. Bayangkan, sadisnya angka kemiskinan yang dirilis pemerintah bahwa tingkat kemiskinan pada angka 8,57 %, padahal jika ditelisik berdasarkan segmen dan kelompok masyarakat, tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 82%.

Semoga pemerintahan ke depan bisa jujur kepada rakyatnya.

Penulis: Ridwan Andi Usman – Mantan Komisioner KPU Sinjai

Scroll to Top