Murur: Resiliensi Jemaah Risiko Tinggi

1748797006
1748797006

Menjelang puncak ibadah di Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina), saya menyaksikan kesiapan jemaah haji Indonesia yang luar biasa. Bagi jemaah risiko tinggi seperti lansia dan difabel, tantangan ibadah tak hanya fisik, melainkan juga emosional dan psikologis. Murur, sebagai inovasi manajemen pergerakan jemaah, menjadi solusi strategis yang selaras dengan syariat dan psikologi positif.

Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal (Kepdirjen) Penyelenggaraan Haji Dan Umrah Nomor 137 Tahun 2025 tentang Petunjuk Pelaksanaan Layanan Khusus Jemaah Haji Indonesia selama Fase Arafah, Muzdalifah, dan Mina, Program Murur adalah layanan khusus bagi maksimal 25% jemaah haji Indonesia yang berisiko tinggi (lansia, difabel, obesitas, pengguna kursi roda, atau pendamping) untuk melewati Muzdalifah tanpa turun dari kendaraan pada malam 10 Dzulhijjah setelah wukuf di Arafah. Pelaksanaannya melibatkan pengaturan transportasi bertahap, pendampingan oleh petugas PPIH dan syarikah, serta koordinasi teknis ketat mulai validasi peserta hingga pemantauan kedatangan di Mina.

Program ini tidak hanya memudahkan pelaksanaan ibadah, tetapi juga melindungi kondisi fisik dan psikologis jemaah yang rentan. Al-Qur’an menegaskan dalam QS. Al-Baqarah: 185:

يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَۖ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Kemudahan yang dihadirkan Murur adalah wujud kasih sayang syariat kepada keterbatasan manusia, bukan pengurangan nilai ibadah. Dari perspektif psikologi positif, Murur menumbuhkan resiliensi, yaitu kemampuan jemaah untuk tetap tenang, bersyukur, dan menerima kondisi diri tanpa merasa terpinggirkan. Penelitian terbaru membuktikan bahwa makna spiritual dan penerimaan diri efektif menurunkan stres dan meningkatkan kualitas pengalaman ibadah (Alahmari et al., 2022; Mohammed et al., 2024).

Keberhasilan Murur juga bergantung pada kesiapan emosional petugas haji yang bertindak sebagai pendamping psikologis, bukan sekadar fasilitator teknis. Empati, komunikasi suportif, dan kepedulian mereka membangkitkan motivasi dan rasa percaya diri jemaah rentan. Oleh sebab itu, pelatihan petugas harus meliputi pemahaman psikologis dasar. Selain itu, dukungan keluarga dan solidaritas antar jemaah memperkuat atmosfer positif selama fase kritis Armuzna. Studi Alzeer et al. (2024) menunjukkan bahwa sistem dukungan sosial yang kuat sangat membantu menjaga ketenangan mental dan spiritual jamaa.

Baca Juga:  Memaknai Hari Kenaikan Yesus Kristus

Ketika Murur dipahami sebagai manifestasi kasih sayang Allah, bukan sekadar kebijakan teknis, skema ini menjadi ruang tumbuh bagi kematangan spiritual jemaah. Prinsip maqashid syariah yang mengutamakan perlindungan jiwa dan kemaslahatan sangat tercermin dalam pelaksanaan Murur. Kami dari Tim Monev menganjurkan agar jemaah tidak memaksakan diri dengan ibadah sunnah menjelang Armuzna agar tetap fokus dan bertenaga menjalankan ibadah wajib. Allah berfirman dalam QS. Al-Hajj: 78:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ

“Dan Dia (Allah) tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78)

Dengan demikian, Murur bukan bentuk kelemahan, melainkan manifestasi ketaatan dan kedewasaan spiritual yang bijak memahami batas kemampuan diri.

Berbasis psikologi positif yang menekankan kekuatan batin, syukur, dan penerimaan, Murur menjadi solusi efektif menjaga kualitas ibadah jemaah risiko tinggi. Tim Monev hadir memastikan setiap jemaah dapat menunaikan ibadah dengan tenang, aman, dan bermartabat. Sebab kemabruran adalah hak semua hamba, selama dijalankan dengan hati lapang, jiwa tegar, dan keyakinan penuh bahwa rahmat Allah senantiasa hadir dalam setiap kemudahan yang diikhtiarkan.

Prof. Dr. Idi Warsah, M.Pd.I (Rektor IAIN Curup / Anggota Tim Monev Ibadah Haji 2025)

Scroll to Top